Jumat, 13 April 2012

PERANAN EKONOMI KERAKYATAN SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN INDONESIA


KATA PENGANTAR

          Penulis memanjatkan syukur Alhamdulilah kepada Allah SWT, yang telah mencurahkan segala rakhmat, karunia dan hidayah-NYA, sehingga kita  dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun judul makalah ini adalah “Peranan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian Indonesia ”  .Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas softskill mata kuliah ekonomi koperasi    , pada program studi manajemen keuangan , Universitas Gunadarma. Akhir kata   penulis mengakui bahwa makalah yamg kami tulis ini banyak kekurangan, untuk itu tim penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, disertai harapan semoga kiranya makalah ini ada manfaatnya, baik bagi tim penulis sebagai pengalaman yang sangat berharga maupun bagi mahasiswa lain sebagai bahan kajian.


































BAB 1
PENDAHULUAN

Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring ( network ) yang menghubung – hubungkan
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya  jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
Sebagai suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan pembeli .
Berkaitan dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang =
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya;  Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.;  Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Yang perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
            pada dasarnya sejalan dengan apa yang diperjuangkan para founding fathers bangsa ini (Bung Hatta utamanya) berupa dirumuskannya Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pilar dimaksud meliputi tiga aspek berikut.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Mubyarto,2002).
Dalam pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masyarakat. Dengan perkataan lain, dalam sistem ekonomi kerakyatan kemakmuran masyarakat merupakan fokus utama, bukan kemakmuran individu. Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Untuk lebih mudah memahami konsep ekonomi kerakyatan, Baswir (2006) menyarankan untuk memulainya dengan menguraikan makna penggalan kalimat pertama yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Penggalan dimaksud adalah sebagai berikut.
“…dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dengan pendekatan di atas, dengan mudah kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan tidak lain adalah “demokrasi ekonomi” sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang secara substansial, menurut Baswir (2006), mencakup tiga hal berikut.
1. Adanya partisipasi penuh seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Karena dengan cara seperti ini lah semua anggota masyarakat mendapat bagian dari seluruh hasil produksi nasional.
2. Adanya partisipasi penuh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Di bawah kondisi seperti ini tidak ada satu pun anggota masyarakat—termasuk fakir miskin—yang tidak menikmati hasil produksi nasional.
3. Pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional harus berada di bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kedaulatan ekonomi harus berada di tangan rakyat. Hal ini bertolak belakang dengan sistem ekonomi pasar, khususnya neoliberal, di mana kedaulatan ekonomi sepenenuhnya berada di tangan pemilik modal. Kegiatan pembentukan produksi nasional boleh dilakukan oleh para pemodal asing, namun kegiatan tersebut harus tetap berada di bawah pengawasan dan pengendalian masyarakat.
Berkaitan dengan definisi ekonomi kerakyatan yang secara tegas dinyatakan memiliki karakteristik yang ideal yakni berkeadilan sosial, Mubyarto (2002) mengemukakan bahwa moral pembangunan yang mendasari paradigm pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup 6 aspek berikut.
1. Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab.
2. Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan system dan kebijakan ekonomi.
3. Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.
4. Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial.
5. Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat.
6. Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
  • Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
  • Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
·         Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
Strategi Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
1.      demokrasi ekonomi diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi atau  konstruksi bangunan ekonomi agar terwujudnya pengusaha menengah yang kuat dan  besar jumlahnya.
2.      kedaulatan ekonomi harus tetap dihormati agar harkat, martabat dan citra ekonomi rakyat dapat disejajarkan dengan ekonomi usaha besar swasta dan badan usaha milik negara, tanpa dijadikan objek balas jasa atau belas kasihan.
3.      pilar ekonomi diarahkan untuk merancang komitmen yang kuat antar-stakeholder dalam mengoptimalkan sumber daya lokal untuk mendorong sekaligus menampung partisipasi bagi kepentingan rakyat banyak.
4.      benteng ekonomi harus disusun melalui master plan ekonomi kerakyatan yang berbasis sosial budaya dengan tetap memperhatikan keseimbangan pertumbuhan, pemerataan dan keseimbangan stabilitas perekonomian rakyat dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi antara golongan kapitalis dan  nonkapitalis (golongan ekonomi lemah).
5.      kemandirian ekonomi diarahkan untuk bertumpu dan ditopang oleh kekuatan sumber daya internal yang dikelola dalam suatu sistem ekonomi.









BAB 2
PERANAN EKONOMI KERAKYATAN SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN
Dalam Pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan kehidupannnya. Jadi, Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
            Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, “Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di sini secara jelas nampak bahwa Indonesia menjadikan asas kekeluargaan sebagai fondasi dasar perekonomiannya. Kemudian dalam pasal 33 ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan dilanjutkan pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” dari bunyinya dapat dilihat bahwa dua pasal ini mengandung intisari asas itu. Hal ini tercemin dari penguasaan negara akan sumber-sumber daya alam dan kemudian tindak lanjutnya adalah kembali pada rakyat, secara tersirat di sini nampak adanya kolektivitas bersama dalam sebuah negara. Meskipun dalam dua pasal ini tidak terlalu jelas kandungan asas kekeluargaanya, namun melihat pasal sebelumnya, kedua pasal inipun akan jadi terkait dengan asas kekeluargaan itu.
Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut.
a.       Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.”
b.      Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
c.       Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat.  Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut:
Ø  Demokratisasi modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
Ø  Demokratisasi modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Ø  Demokratisasi modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur  dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
            Kemudian dalam pasal 27 ayat dua yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Makna kekeluargaan di sini lebih jelas di bandingkan pasal 33 ayat 2 dan 3. Ada hak yang menjembatani antara negara dan warga negara. Hubungan ini tidak hanya sekedar apa yang harus di lakukan dan bagaimana memperlakukan. Tetapi ada nilai moral khusus yang menjadikannya istimewa. Dan nilai moral itu adalah nilai-nilai yang muncul karena rasa kekeluargaan. Dan hal ini pun tidak jauh beda dengan yang ada dalam pembukaan UUD, di dalamnya asas kekeluargaan juga muncul secara tersirat.
            Mengacu pada pasal-pasal di atas, asas kekeluargaan dapat digambarkan sebagai sebuah asas yang memiliki substansi sebagai berikut; kebersamaan, idealis keadilan, persamaan hak, gotong-royong, menyeluruh, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Menilik dari substansi-substansi itu dapat diketahui bahwa sosialisme telah mengakar ke dalam tubuh perekonomian Indonesia. Ada bagian-bagian aliran sosialisme yang menjadi bagian sistem ekonomi kita. Dan yang perlu di garis bawahi, bagian-bagian aliran sosialisme yang diadopsi itu bukanlah bagian secara keseluruhan, melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dan baik untuk Indonesia
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
  • Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
  • Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
  • Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
LIMA HAL POKOK YANG HARUS SEGERA DIPERJUANGKAN AGAR SISTEM EKONOMI KERAKYATAN TIDAK HANYA MENJADI WACANA SAJA
  1. Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
  2. Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
  3. Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
  4. Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
  5. Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.

Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar. 

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia. 
Ekonomi Kerakyatan Di Tengah Arus Kapitalisme Global
Dalam berbagai event politik, Ekonomi Kerakyatan (seperti koperasi dan UKM) sering dibicarakan, diprogramkan dan setelah event itu usai tidak diurus lagi. Sehingga yang sebenarnya terjadi adalah menjadikan issue Ekonomi Kerakyatan sekedar sebagai ”dagangan politik” untuk menarik simpati. Secara umum, nasib Ekonomi Kerakyatan, khususnya Koperasi-UKM memang hanya menarik untuk dijadikan komoditi politik ketimbang secara serius diperjuangkan sebagai kebutuhan rakyat. Bagi (sebagian besar) politisi, perjuangan untuk menerapkan ekonomi kerakyatan secara riil di arena politik merupakan mimpi di siang bolong, karena kehidupan politik yang disemangati nilai-nilai kapitalisme saat ini justru dianggap sebagai peluang yang lebih menungutungkan ketimbang berjuang memberlakukan ekonomi kerakyatan.
            Sikap pesimis, ragu dan oportunis para politisi dan penyelenggara negara terhadap Ekonomi Kerakyatan akhirnya melahirkan ambivalensi dalam memproduksi kebijakan. Pertama, secara substansial dan obyektif, mereka menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang harus diberlakukan di negeri ini. Alasan ”sesuai perkembangan jaman” merupakan pertimbangan yang seringkali dirasionalisasi untuk melegitimasi aturan main yang seolah-olah merupakan penjabaran dari Konstitusi Dasar Republik ini. Kedua, melakukan formalisasi Ekonomi Kerakyatan secara institusional, dan bukan pemberlakuan sistem ekonomi nasional secara substansial. Institusionalisasi tersebut berbentuk lembaga-lembaga Koperasi dan UKM yang fungsi dan perannya sengaja dimarginalkan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik. Keberadaan Departemen Koperasi dan UKM, dalam konteks ini, adalah salah satu bentuk formalisasi dimaksud, sekedar supaya Pemerintah dianggap menjalankan soko guru ekonomi nasional.
            Tulisan ini tidak membahas Koperasi secara khusus, melainkan akan membahas tata Ekonomi Kerakyatan dalam perspektif politik nasional yang telah dirasuki semangat kapitalistik seperti disebut di atas. Oleh karena itu, secara berurutan nanti akan dibahas apa itu Neo-liberalisme atau Kapitalisme Global baru kemudian Ekonomi Kerakyatan dan terakhir akan disinggung sedikit sejauh mana relevansi keberadaan Koperasi (sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan) di era Globalisasi ini.
NEO LIBERALISME
Sebelum kita uraikan beberapa persoalan riil yang terkait dengan Ekonomi Kerakyatan, terlebih dahulu kita kupas apa itu ideologi Neoliberal, bagaimana perkembangannya serta apa dampak penerapannya. Neoliberalisme merupakan tahap lanjutan dari liberalisme yang berkembang sekitar abad 18 sampai 19 di Barat. Liberalisme asal mulanya adalah bentuk perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi kaum konservatif atau feodal. Sehingga boleh disebut, liberalisme merupakan ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Memang, dalam konteks definisi ada “civic liberalism” maupun liberalisme ekonomi. Dan, liberalisme ekonomi inilah yang nantinya berkembang menjadi neoliberalisme.
Pada intinya, paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara. Kata neo dalam neoliberalisme yang kita bahas ini merujuk pada bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang dulu dibangkitkan ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya “The Wealth of Nations” (1776), di mana dia dan kawan-kawannya menggagas penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Dalam liberalisme, Pemerintah harus membebaskan mekanisme pasar bekerja, harus melakukan deregulasi dengan mengurangi restriksi (hambatan) pada proses produksi, mencabut semua rintangan birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, atau kebebasan inidividu untuk menjalankan persaingan bebas, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an. Tapi, konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great Depression) di tahun 1930-an melanda dunia.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia, muncul seorang ekonom Inggris yang bernama John Maynard Keynes, yang menantang paham liberal. Keynes mengembangkan gagasan alternatif bahwa pemerintah dapat dan harus melakukan intervensi dalam perekonomian, dan membangun sebuah model yang sama sekali baru. Ekonomi Keynessian yang sering disamakan dengan Welfare State (Negara Kesejahteraan, yaitu pemilikan negara atas sebagian besar industri dan pemerintahan yang intervensionis) itu mempengaruhi Presiden Roosvelt untuk melahirkan kebijakan yang dikenal dengan program “New Deal”, karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat Amerika waktu itu. Sejak itu pula peran pemerintah atau negara dalam ekonomi makin dapat diterima, makin menguat dan menenggelamkan paham liberalisme. Kebanyakan negara berkembang juga menganut strategi pembangunan yang didominasi oleh negara (welfare state).
Namun, krisis kapitalisme di akhir 1970-an menyebabkan semakin berkurangnya tingkat keuntungan kaum kapitalis yang berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital mereka, sehingga meneguhkan mereka untuk kembali pada sistem liberalisme. Doktrin ekonomi Keynessian dianggap sebagai penyebab kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori oleh ekonom Milton Friedman dan Friederich Hayek, mereka meyakini bahwa pasar bebas mampu memajukan ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara dalam mengatasi kegagalan ekonomi lebih mendatangkan kerugian daripada keuntungan. Mereka ingin negara kembali pada fungsi dasarnya dengan cara melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan sejumlah fungsi negara kepada swasta.
Melaui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham liberalisme, bahkan dalam skala global. Paham liberalisme lama itu kini dihidupkan kembali secara global, yang dikembangkan melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan. Konsensu 1980-an yang dikenal dengan The Washington Consensus itu, datang dari para pembela ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil perusahaan-perusahaan besar Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi Nasional Corporations (MNC’s), Bank Dunia, IMF serta wakil negera-negara kaya. Mereka menyebut kesepakatan itu sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan pasar bebas di era global. Intinya adalah negara harus melayani dan memberi kebebasan swasta untuk memperoleh superprofit (bukan sekedar profit).

Sistem ekonomi kerakyatan mempunyaiciri-ciriberikutini:
a.Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b.Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c.Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d.Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Ekonomi Kerakyatan merupakan amanat konstitusi Undang-Undang 1945. Jika didefinisikan, ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang menekankan pada keadilan dalam penguasaan sumberdaya ekonomi, proses produksi dan konsumsi. Dalam ekonomi kerakyatan ini kemakmuran rakyat lebih diutamakan daripada kemakmuran individu. Sedangkan Ekonomi Rakyat adalah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy“, atau “extralegal sector“.
Ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Hendaknya, perubahan paradigm tersebut dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.
Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya political will, tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri.
Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.
Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.  Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy. 
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.  Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai tahapan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat.  Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru
Pelaku Utama dalam Sistem Perekonomian Indonesia
Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1) adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara (pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan dapat menjadi alternative
Hingga saat ini definisi atau batasan usaha kecil dan menengah belum ada pembahasan yang tuntas, sebab  tinjauan dari segi kriteria, baik yang menyangkut modal dan jumlah tenaga kerja berbeda-beda. Namun ada beberapa pendekatan untuk membuat batasan usaha kecil, dimana pada garis besarnya pendekatan itu dapat dilakukan secara kuantitatif dan manajemen.
Dari sudut kuantitatif biasanya jumlah tenaga kerja berkisar pada 5 – 20 orang, sedangkan dari segi modal, maka modal bersih atau harta perusahaan bisa mencapai 600 juta dan dari sisi omset atau penerimaan penjualan biasanya sampai RP 50 juta perbulan. Sementara tingkat teknologi  yang digunakan oleh usaha kecil, menengah dan koperasi pada umumnya adalah teknologi rendah sampai sedang.
Dari sudut manajemen berarti bahwa pengelolaan usaha kecil belum menunjukkan adanya spesialisasi fungsi-fungsi manajemen secara terpisah (PPM;1997).
Dalam Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 1 ayat 1 (satu) dikatakan, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini. Sedangkan ayat 2 (dua) memuat pengertian usaha menengah dan besar yakni kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.
Pasal 5 ayat 1  (a) dinyatakan bahwa kekayaan bersih yang dimiliki usaha kecil paling banyak adalah Rp 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan di atas, pada hemat penulis yang dimaksud dengan usaha kecil adalah suatu kegiatan ekonomi skala kecil yang mempunyai tenaga kerja berkisar antara 5 sampai dengan 20 orang dengan omset tahunan sekitar Rp 600 juta sampai dengan Rp 1 milyar, dan modalnya rata-rata Rp 200 juta – Rp 600 juta dengan tingkat teknologi yang relatif sederhana dan belum memfungsikan pilar-pilar manajemen secara terspesialisasi.
Sedangkan usaha menengah menurut BPS  (1997) dalam Ringkasan Eksekutif Industri besar dan sedang adalah kegiatan ekonomi yang jumlah tenaga kerjanya berkisar antara 20 sampai dengan 99 orang. Dan tentu saja menurut hemat penulis omset dan modalnya lebih besar  dari usaha kecil, tingkat teknologinya lebih baik dan mengarah pada terspesialisasinya fungsi-fungsi manajemen (marketing, produksi, SDM dan finance).
Biasanya usaha kecil seringkali diidentikkan dengan idiom ekonomi kerakyatan, namun pengertian ekonomi kerakyatan masih rancu dan cenderung disamakan artinya dengan ekonomi rakyat. Padahal istilah ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi bukan merupakan sebutan yang baru di Indonesia. Istilah ekonomi kerakyatan sendiri secara resmi tertulis dalam satu paragraf pasal 33 UUD 1945. Dimana dalam pasal 33 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Dari pengertian di atas,  dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya pelibatan semua elemen masyarakat dalam aktivitas usaha menjadi suatu keharusan, yakni produksi yang notabene selama ini banyak dikerjakan oleh beberapa kelompok saja. Dalam paragraf tersebut jelas-jelas dinyatakan  yaitu diharuskan kepemilikannya pada anggota-anggota masyarakat. Ini juga berarti bahwa pencerminan distribusi dan hasil-hasil proses  produksi dari aktivitas usaha tersebut bertujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang yang selama ini terjadi pada berbagai perusahaan baik swasta (besar dan konglomerat) maupun negri (BUMN).
Dalam penggalan akhir paragraf tersebut dinyatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai adalah koperasi. Berarti sistem yang hendak dibangun dalam konteks ekonomi kerakyatan adalah koperasi, sebab koperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional.
Pengamat Ekonomi Umar Juoro (1999)  mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijakan, dan strategi pengembangannya. Ini artinya bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar hal yang bersifat parsial dan karikatif, namun lebih kepada tatanan atau konstruksi menyeluruh antara satu dengan lainnya yang disebut oleh Umar juoro sebagai sistem. Ini juga menandakan bahwa karena ekonomi kerakyatan merupakan sistem, sehingga di dalamnya terkandung terminologi, gagasan atau ide-ide, kebijakan dan strategi yang dapat dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula.
MENGEMBANGKAN EKONOMI RAKYAT SEBAGAI LANDASAN EKONOMI PANCASILA
Kemiskinan Penduduk Pribumi di Jaman Penjajahan
Pierre Van der Eng,seorang sejarawan Belanda menulis tentang strata ekonomi penduduk di jaman penjajahan. Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan “nasional” Hindia Belanda, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%) sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat “njomplangnya” pembagian pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta. Kemerdekaan, betapapun sangat “mahal” harganya, harus dicapai karena akan membuka jalan ke arah perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.Pierre Van der Eng, Indonesia’s Economy and Standard of Living in the 20th Century dalam Grayson Lloyd & Shannon Smith, 2001, Indonesia Today, ISEAS, Singapore, hal. 194.
Kini setelah Indonesia merdeka 58 tahun, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika jaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) yang menciptakan ketimpangan ekonomi luar biasa, sungguh-sungguh merupakah “bom waktu” yang kemudian meledak sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997), dan Gini Rasio meningkat berturut-turut dari 0,18 menjadi 0,21 dan 0,24.Van der Eng, idem, hal. 197.

Terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun selama 3 dekade, 1966-1996) “tidak diridhoi” Allah SWT dan krismon “diturunkan” untuk mengingatkan bangsa Indonesia.
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
Krisis Moneter Mengembangkan Keuangan Mikro
Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) yang berakibat langsung pada ditutupnya 16 bank swasta nasional tanggal 1 Nopember 1997, lembaga keuangan mikro berkembang pesat, terutama di perdesaan. BRI yang merupakan lembaga keuangan mikro terbesar di Indonesia yang memiliki 3.825 unit-unit desa di seluruh Indonesia berkembang luar biasa. Di Propinsi DIY jumlah penabung bertambah rata-rata 16,2% per tahun selama 1997 – 2002 dari 457.496 menjadi 950.978 orang. Dan dana tabungan meningkat 26,3% per tahun dari Rp.263 milyar menjadi Rp.788 milyar (tabel 2), berarti setiap orang memiliki tabungan di BRI sebesar Rp. 828.368,-. Penduduk Propinsi DIY tahun 2002 adalah 3,1 juta orang.
Demikian data-data mikro dari lapangan ini, yang tidak pernah dilihat dan dianalisis oleh para ekonom makro, menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah “hancur leburnya” ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis serius meskipun sempat kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan masih adanya “krisis ekonomi” sekarang ini sengaja ditiupkan dan dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan para pembelanya termasuk teknokrat. Konglomerat ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank pemerintah (BLBI dan obligasi rekap). Masyarakat dan pers kita hendaknya waspada dalam hal ini. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery) jika yang akan kita pulihkan justru kondisi ekonomi sangat timpang “pra-krisis” yang dikuasai konglomerat dan menjepit ekonomi rakyat.
Keuangan Mikro bukan hal baru bagi Indonesia. Yang baru adalah kesadaran dan pengakuan tentang peranan besar yang dimainkannya dalam perekonomian rakyat dan perekonomian nasional. Kenyataan ini mempunyai implikasi besar terhadap teori tentang peranan modal nasional dan upaya-upaya penguatannya dalam pembangunan ekonomi bangsa. Jika ada pakar ekonomi asing mengatakan “the only way for Indonesia’s economic recovery is mass capital inflow from abroad”, maka jelas kami menolak fatwa yang cenderung “ngawur” tersebut.
Fakta tentang peranan besar keuangan mikro dalam perekonomian nasional hendaknya menyadarkan pemerintah tentang perlunya mengkaji ulang teori ekonomi perbankan modern. Kesediaan pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.650 trilyun untuk “menyelamatkan perbankan modern”, yang bunganya sangat memberatkan APBN, jelas merupakan kebijakan keliru yang tidak berpihak pada kebijakan pengembangan keuangan mikro dan pemberdayaan ekonomi rakyat.






BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.























DAFTAR PUSTAKA

http://terapibisnis.com/artikel-tb/86-ekonomi-kerakyatan-bisa-menjadi-alternatif.html



PERANAN PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA"


ABSTRAKSI

Perbankan sebagai lembaga intermediasi mempunyai peranan penting dalam perekonomian suatu negara, dimana dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi peranan bank umum sangat strategis untuk menjembatani kebutuhan modal antara pemilik dana dan peminjam dana. Dalam makalah ini mengkaji peranan bank umum terutama dalam hal penyaluran kredit kepada sektor riil yang dipengaruhi oleh berbagai variabel. Karena semakin besar kapasitas kredit suatu bank maka kemampuan untuk menyalurkan kredit juga semakin besar. Sedangkan turunnya suku bunga SBI belum terlalu berpengaruh terhadap penyaluran kredit bank umum, karena turunnya suku bunga masih dinilai terlalu tinggi oleh dunia usaha untuk melakukan pinjaman kredit.


















Bab 1
PENDAHULUAN

1.1  Sejarah berdirinya sebuah bank
Bank pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada umumnya pada tahun , pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut Perancis  akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan pendanaan kemudian berdasarkan gagasan Wiliam Paterson  yang kemudian oleh Charles Montagu  direalisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam waktu duabelas hari. Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman  kerajaan tempo dulu di daratan Eropa . Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke  Asia Barat  oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia , Afrika  dan Amerika  di bawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan di masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam
1.2  Sejarah perbankan di Indonesia
Awal sejarah perbankan di tanah air tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan digantikaannya kekuasaan VOC oleh pemerintah Belanda (di bawah Republik Bataaf) pada 1 Januari 1800. Dengan bentuk pemerintahan resmi setelah Pemerintah Rafles, Pemerintah Hindia Belanda ingin mencapai tujuan ekonomis dan politis lebih besar dan lebih mapan.Untuk memperbaikki keadaan keuangan sebagai warisan VOC dan pemerintahan Rafles, Pemerintah Hindia Belanda memerlukan kehadiran lembaga bank. Pada tanggal 10 Oktober 1827 berdirilah De javasche bank, dengan modal f. 4.000.000 dan berkedudukan di jakarta. Segera setelah berdiri, JB (javasche bank) memperoleh hak istimewa (octrooi) untuk mengeluarkan uang kertas bank. Pada tahun 1891 JB mendapatkan hak untuk memperdgangkan valuta asing dan menjalankan usaha sebagai bank umum.




























Bab 2
Perkembangan dan jenis bank

2.1 Perkembangan Perbankan di Indonesia  
          Kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini selain disebabkan oleh perkembangan internal di dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembanangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum dan sosial.
           Perkembangan yang terlihat di Indonesia dapat kita kelompokkan ke dalam tiga kondisi yaitu :
a.     Kondisi sebelum deregulasi
b.     Kondisi setelah deregulasi
c.     Kondisi saat krisis ekonomi mulai akhir tahun 1990-an
d.     Kondisi saat ini
A.  Kondisi sebelum deregulasi
Pada masa kolonial kegiatan perbankan di wilayah Hindia-Belanda ini terutama diarahkan untuk melayani kegiatan usaha dari perusahaan-perusahaan besar milik kolonial di wilayah jajahannya serta membantu administrasi anggaran milik pemerintah, Maka fungsi perbankan pada masa penjajahan adalah :
a.     Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik kolonial.
b.     Memberikkan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar milik kolonial, seperti giro, garansi bank, pemindahan dana dan lain-lain.
c.     Membantu pemindahan dana jasa modal dari wilayah kolonial ke negara penjajah.
d.     Sebagai tempat sementara dari dana hasil pemungutan pajak.
e.     Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah kolonial.
Berakhirnya masa penjajahan kemudian beralih ke masa setelah kemerdekaan
tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam hal perbankan di dalam negeri, dengan demikian fungsi utamanya adalah :
a.     Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana investasi dan modal kerja perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
b.     Memberikkan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
c.     Mengadministrasikkan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah.
d.     Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor yang ingin dikembangkan oleh pemerintah.
Bank yang ada tidak secara tegas diarahkan untuk  memobilisisasikan dana seluas-seluasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk mengembangkan perekonomian rakyat seluas-luasnya. Secara lebih terperinci keadaana perbankan saat ini adalah sebagai berikut:
a.  Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang     perbankan di Indonesia.
          b.    Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu
          c.    Bank banyak menanggung program-program pemerintah
          d.    Instrumen pasar uang terbatas
          e.    Jumlah bank swasta relatif sedikit
          f.    Sulitnya pendirian bank baru
          d.    Persaingan antarbank yang tidak ketat
          h.    Posisi tawar-menawar bank relatif lebih kuat dari pada nasabah
          i.     Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit
j.   Bank bukan merupakan alternatif utama bagi masyarakat luas untuk   menyimpan dan meminjam dana
k.     Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah
B. Kondisi setelah deregulasi
          Berada dalam kondisi yang serba tidak menguntungkann  dimana tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasikan dana dengan baik. Cara pemerintah yang ditempuh pada saat itu adalah dengan melakukkan serangkaian kebijakan berupa deregulasi di sektor riil dan di sektor moneter. Dengan melakukan serangkaian paket deregulasi mulai tahun 1980-an. Sehingga pada masa setelah deregulasi ini perbankan di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.     Peraturan yang memberikan kepastian hukum
b.     Jumlah bank swasta bertambah banyak
c.     Tingkat persaingan bank yang semakin kuat
d.     Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang
e.     Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat
f.      Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar
C. Kondisi Saat krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
          Perkembagan perbankan yang cukup pesat pada masa setelah deregulasi ternyata tidak berlangsung cukup lama untuk dapat mengangkat Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesejahteraan yang sama dengan negara-negara lain di asia tenggara. Perkembangan ini terhenti dan bahkan mengalami kemunduran total akibat adanya krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, sehingga kondisinya pada saat ini adalah sebagai berikut:
a.     Tingkat kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan di Indonesia menurun drastis. 
b.     Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat
c.     Adanya spread negatif
d.     Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru
e.     Jumlah bank menurun
D. Kondisi Terakhir
          Tiga hal penting menandai kondisi terakhir sektor perbankan di Indonesia, ketiga hal tersebut adalah :
a.     Selesainya penyusunan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Munculnya   API ini dipicu oleh adanya krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai tahun 1997.
b.     Serangkaian rencana dan komitmen pemerintah, DPR, dan Bank Indonesia untuk membantuk dan menyusun :
1)    Lembaga penjamin simpanan.
2)    Lembaga pengawas perbankan yang independen
3)    Otoritas jasa keuangan
c.     Praktik perbankan yang lebih baik antara lain mengarah kepada:
1)    Manajemen pengelolaan resiko yang lebih baik
2)    Sturktur perbankan nasional yang lebih baik
3)    Penerapan prinsip kehati-hatian yang konsisten
4)    Penyaluran dana masyarakat ke arah yang lebih mencerminkan bank sebagai perantara keuangan.

2.2 Jenis Bank
          Bank di definisikan yang tertulis dalam undang-undang Nomor 10 tahun 1998 yaitu senbagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarahkat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank dapat digolongkan kedalam beberapa golongan diantaranya:
a.     Jenis Bank Menurut Kegiatan Usaha
b.     Jenis Bank menurut Bentuk Badan Usaha
c.     Jenis Bank Menurut pendirian dan Kepemilikan
d.     Jenis Bank Menurut Target Pasar
  1. Jenis Bank Menurut Kegiatan Usaha
Di berlakukkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992, secara resmi bahwa
Bank dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu Bank umum dan Bank perkreditan rakyat .
      a) Bank umum
          Didefinisikan oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikkan jasa dalam lalu lintas pembayaran, yang kegiatan usahanya diantaranya :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,    
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya dapat dipersamakan dengan itu
2) Memberikan kredit
3) Menerbitkan surat pengakuan utang
4) Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah (transfer)
5) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukkan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga
6) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga (safe deposit box)
7) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh Bank Indonesia
8) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kredit dan kegiatan wali amanat
       b) Bank Prekreditan Rakyat
          Bank prekreditan rakyat didefinisikan oleh undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikkan jasa  lalu lintas pembayaran. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank perkreditan rakyat diantaranya adalah :
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito       berjangka, dan tabungan
2) Memberikan kredit
3) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasrkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, dan atau tabungan pada bank lain.
          Terdapat juga kegiatan yang merupakan larangan bagi bank perkreditan rakyat adalajh sebagai berikut :
1) Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas     pembayaran
2) Melakukkan kegiatan usaha dalam valuta asing 
          3) Melakukkan penyertaan modal
 4) Melakukan usaha perasuransian
     B) Jenis Bank Menurut bentuk badan usaha
          Untuk memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat, suatu lembaga keuangan wajib memenuhi persyaratan mengenai:
          1) Susunan organisasi dan permodalan
          2) Permodalan
          3) kepemilikan
          4) keahlian di bidang perbankan
          5) kelayakan rencana kerja
          Badan hukum suatu bank umum dapat berupa :
a)    perseroan terbatas
b)    koperasi
c)     Perusahaan Daerah
Badan hukum bank perkreditan rakyat dapat berupa :
a)    Perusahaan daerah
b)    Koperasi
c)     Perseroan terbatas
d)    Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
C) Jenis Bank Menurut Pendirian dan Kepemilikan
2.3 Peranan perbankan
Bank dalam perekonomian memiliki tempat yang amat penting sebagai lembaga yang dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian dan bank merupakan pelaku dalam pelaksanaan kebijakan moneter.Bank Sentral dalam menjalankan kebijakan moneter dengan berbagai instrumen menggunakan bank umum sebagai mediator dalam mempengaruhi jumlah uang beredar melalui kebijakan “reserve requirement”.Bank Umum memiliki kemampuan meningkatkan atau mengurangi daya beli dalam perekonomian yaitu melalui kebijakan perkreditan.
        Kebijakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan uang beredar antara lain :

       Menawarkan tingkat bunga deposito yang tinggi
       Bebas pengusutan asal usul uang yang didepositokan
       Penjaminan oleh Bank Indonesia
       Bebas pajak (PBDR)
       Pengetatan rahasia bank
       Menaikkan suku bunga pinjaman
       Menetapkan pagu kredit
       Penyaluran kredit yang selektif
       Menetapkan tata cara pemberian kredit perbankan
       Menaikkan cadangan likuiditas
       Ketentuan mengenai CAR, L3 dan LDR
        Tugas utama BI adalah menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin dalam bentuk :

       Nilai tukar rupiah yang stabil
       Tingkat inflasi / deflasi yang relatif rendah
       Sirkulasi pembayaran berjalan lancar
       Pembangunan berjalan lancar
       Masyarakat dalam kehidupan perekonomiannya tidak resah
       Masyarakat internasional mempercayai rupiah
       Pemberian kredit perbankan sesuai dengan peraturan
        Dalam mengatur Jumlah Uang Beredar dapat dianalisis secara mendalam dari :
        Hukum permintaan dan penawaran
       Rumus “ M.V = P.T” dari Irving Fisher
        M= Jumlah uang beredar
        V = Rata rata perputaran setiap uang
        P = Tingkat harga
        T = Jumlah barang dan jasa yang diperdagangkan

        Pada dasarnya harga barang ditentukan oleh ratio permintaan dan penawaran. Intinya adalah harga barang berbanding lurus dengan jumlah uang beredar

        Dari rumusan diatas dinyatakan bahwa tingkat harga (inflasi) ditentukan oleh jumlah uang beredar, rata rata perputaran uang dan jumlah barang & jasa yang diperdagangkan.

        Bila jumlah uang beredar naik atau rata rata perputaran uang yang naik tanpa diikuti naiknya jumlah barang & jasa yang diperdagangkan akan mengakibatkan harga akan naik; dalam hal ini nilai tukar uang akan menurun atau inflasi
        Kecepatan perputaran uang turut mempengaruhi laju inflasi, namun sewaktu waktu unit uang tidak beredar (idle money) disebabkan karena :

       Motif Transaksi, dimana seseorang tidak membelanjakan uang / pendapatannya sekaligus karena ingin mengatur pengeluarannya untuk masa yang akan datang

       Motif berjaga-jaga, dimana seseorang menyimpan sebagian pendapatannya untuk mengantisipasi hal hal yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang; misalnya untuk biaya perawatan kesehatan

       Motif Spekulasi, dimana seseorang tidak membelanjakan uangnya karena mengharapkan harga akan turun atau bunga akan naik pada masa yang akan datang

        Hal diatas mendorong pemerintah cq BI sering melakukan deregulasi karena sadar bahwa kehidupan perekonomian sangat dipengaruhi sejauh mana peran moneter dalam mendukung laju pertumbuhan ekonomi
fungsi bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu,
keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting
dijaga guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi
serta untuk  mencegah terjadinya
bank runs and panics.
Kepercayaan masyarakat juga
diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar
kewajiban kepada seluruh nasabahnya sekaligus,
Industri perbankan di Indonesia telah mengalami masalah-masalah yang apabila
diamati akar penyebabnya (
root causes)
adalah lemah dan tidak diterapkannya  tata
kelola perusahaan  yang baik (
good corporate governance
). Hal ini menyebabkan industri
perbankan tidak dapat secara be rhati-hati (
prudent
) menyerap pertumbuhan risiko
kredit dan harga domestik yang cepat berubah. Sementara itu, tidak transparannya
praktik dan pengelolaan (
practices and governance
) suatu bank mengakibatkan badan
pengawas sulit mendeteksi praktik kecurangan yang dilakukan oleh pengurus dan pejabat
bank.
Tantangan lain yang dihadapi  bank adalah berpalingnya nasabah tradisional bank
kepada sumber pembiayaan lain. Tersedianya banyak alternatif sumber dana bagi
perusahaan-perusahaan besar yaitu antara lain dari perusahaan-perusahaan modal ventura,
perusahaan-perusahaan
leasing
, perusahaan-perusahaan
hire-purchase
, perusahaan-
perusahaan anjak piutang, perusahaan-perusahaan
forfeiting
, pasar uang, dan pasar modal
dengan berbagai
debt instruments
nya seperti
promissory notes
dan obligasi serta
equity
instrument
nya mempertajam persaingan yang dihadapi bank.  Sementara itu, larangan
terhadap bank untuk melakukan kegiatan di pasar modal mempersempit kemampuan bank
dalam menyalurkan dananya sehingga  menjadi alasan bagi bank untuk melakukan kegiatan
pada pemberian kredit yang berisiko tinggi yang pada gilirannya berakibat pada keamanan
dan kesehatan industri perbankan.
Masalah paling berat yang dihadapi industri perbankan dan badan pengawas bank
adalah kelalaian  pengurus bank serta penipuan dan penggelapan yang mereka lakukan.
Hal ini  dapat dilihat dari praktik para bankir antara lain berupa besarnya kredit yang
disalurkan kepada kelompok usah anya sendiri. Pemberian kredit kepada kelompok usaha
sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan analisis pemberian kredit yang sehat.
Padahal praktik seperti ini pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai    penipuan.
Untuk mendapatkan dan atau mempertahankan kepercayaan masyarakat, industri
perbankan  harus diatur dan diawasi dengan ketat baik melalui peraturan langsung
(
direct  regulation
) maupun peraturan tidak langsung (
indirect regulation
). Peraturan
langsung bertujuan mengurangi kewenangan pengurus bank dalam menjalankan kegiatan
usaha. Bank misalnya dilarang memberikan kredit kepada suatu perusahaan melebihi

1.     prosentase tertentu dari modalnya. Sedangkan peraturan tidak langsung didasarkan pada
pemberian insentif yang bertujuan mempengaruhi sikap tertentu dari pengurus bank,
misalnya melalui penerapan peraturan mengenai persyaratan
risk-based capital
.
Beberapa prinsip dapat dijadikan landasan dalam menyusun peraturan perbankan yaitu:
efisiensi, keadilan  sosial, pengembangan sistem, dan pemeliharaan institusi.  Tujuannya
adalah untuk menciptakan perbankan yang aman dan sehat  (
safe and sound banking
).
Untuk mencapai tujuan tersebut kepada badan pengawas bank perlu diberi
kewenangan luas untuk mengatur dan mengawasi industri perbankan. Kewenangan
tersebut antara lain berupa kewenangan menetapkan berapa besarnya modal yang harus
dimiliki, berapa besarnya pinjaman yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan,
siapa yang boleh menjadi pengurus bank dan sebagainya. Kewe nangan mengawasi
diberikan dengan tujuan untuk memonitor apakah bank melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan  ketentuan yang berlaku . Perlu pula dikaji untuk memberikan kewenangan
penyidikan kepada  badan pengawas. Kewenangan tersebut bertujuan untuk melindungi
nasabah, melindungi perekonomian dan menjaga tidak terjadinya konsentrasi bisnis.
Perlindungan terhadap nasabah merupakan alasan paling dasar untuk mengawasi bank
karena nasabah  merupakan target yang mudah bagi pencurian oleh pengurus bank.
Pentingnya pengawasan terhadap industri perbankan secara jelas dinyatakan  oleh
Adam Smith sebagai berikut:
“[b]eing the managers of other people’s money than of their own, it cannot well be expected, that they
should wacth over it with the same anxious vigilance with which partners in a private copartnery frequently
watch over their own… Negligence and profusion, therefore, must always prevails, more or less, in the
management of the affairs of such a company.”
Pentingnya pengawasan juga disebabkan karakteristik usaha bank. Berbeda dengan
perusahaan jasa keuangan lainnya bank menyediakan  produ k berupa penerimaan
simpanan dan pemberian kredit. Produk dalam bentuk simpanan harus dibayar oleh bank
setiap saat atau beberapa waktu setelah adanya permintaan pembayaran dari nasabah.
Produk bank berupa pemberian kredit  menggunakan sumber dana yang berasal dari
simpanan nasabah. Aset bank dalam bentuk pemberian kredit tersebut hanya dapat
ditagih ole h bank sesuai dengan jangka waktu perjanjian kredit yang disepakati bank
dengan nasabahnya.
Singkat kata, utang bank adalah utang yang setiap saat dapat ditagih dan wajib
dibayar sedangkan piutang bank hanya dapat ditagih oleh ban k berdasarkan jangka
waktu tertentu. Demikian bank terekspose kepada kemungkinan terjadinya kekurangan
dana apabila nasabah penyimpan menarik simpanannya pada bank. Kondisi ini terjadi
apabila me reka kehilangan kepercayaan kepada bank. Itulah sebabnya bank disebut
sebagai lembaga kepercayaan. Alan Greenspan mengatakan “
When confidence in the
integrity of a financial institutions is shaken or its commitment to the honest conduct of
business is in doubt, public trust erodes and the entire system is weakened.”
Sementara itu, kurang transparannya bank menyebabkan reputasi merupakan
masalah sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu bank. Rumor dapat memperlemah
kepercayaan nasabah terhadap bank. Untuk itu bank harus menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya. Industri perbankan tidak saja rawan di
rampok oleh pengurus dan atau pemiliknya tetapi juga rawan sebagai tempat
penyembunyian hasil kejahatan. Itulah sebabnya bank harus mengenal nasabahnya yaitu
dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah (
know your customer Principe)
dan juga

2.     menerapkan prinsip kenali karyawan (
know your employee).
Dengan menerapkan kedua
prinsip itu maka reputasi bank akan terjaga dan kepercayaan nasabah meningkat.
Pengalaman menunjukan bahwa penyelesaian likuidasi bank selalu berlarut-larut
sehingga merugikan nasabah dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini dapat
membuat kepercayaan masyarakat terhadap bank menurun. Padahal u ntuk menyelesaian
bank bermasalah telah diberlakukan ketentuan yang berbeda dengan ketentuan
penyelesaian perusahaan non bank. Maksudnya adalah agar penyelesaian bank
bermasalah dapat dilakukan dengan cepat. Kecepatan penyelesaian bank bermasalah
merupakan kunci terciptanya kepercayaan masyarakat. Berkurangnya kepercayaan
terhadap suatu bank dengan mudah menyebar ke bank lain yang pada dasarnya sehat. Ini
terjadi karena nasabah mengetahui bahwa apabila terjadi
rush
, maka nilai  aset bank
akan turun dengan cepat sehingga nasabah akan berupaya menarik simpanannya sebelum
nasabah yang lain.
Untuk mempermudah dikeluarkannya bank bermasalah dari sistem perbankan salah
satu caranya adalah dengan mendirikan asuransi simpanan. Asuransi simpanan
merupakan mekanisme untuk mempermudah bank bermasalah “dikeluarkan” dari
industri perbankan. Alasannya adalah asuransi simpanan menyediakan jalan agar biaya
sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan. Disamping itu asuransi
simpanan juga  bertujuan menurunkan  kemungkinan terjadinya
rush
, dan sekaligu s
melindungi nasabah penyimpan kecil yang secara sosial dan politik tidak dapat
menanggung beban kerugian akibat kebangkrutan bank. Teori keuangan modern
mengajarkan bahwa pada suatu masyarakat yang
corruption-resistant
sekalipun,
nasabah penyimpan harus tetap khawatir tentang sikap oportunistik pengurus dan
pemilik bank.
Kesulitan yang dihadapi nasabah penyimpan dalam mengkordinir aksi kolektif guna
mengawasi sikap oportunistik pengurus dan pemilik bank  memiliki dua akar yang jalin-
menjalin.
Pertama
, kesulitan yang dihadapi nasabah penyimpan dalam memperoleh
informasi terpercaya tentang perkembangan yan g tidak menguntungkan dan
mengobservasi tindakan merugikan oleh pengurus bank termasuk kesemberonoan,
ketidak hati-hatian, kecurangan dan
self dealing
.
Kedua
, kesulitan yang dihadapi
nasabah penyimpan dalam menganalisis dan merespons setiap informasi yang diperoleh.
Untuk menanggulangi kesulitan yang dihadapi oleh nasabah penyimpan setidaknya ada
dua pendekatan yang dapat diambil, yaitu keterbukaan maksimal dan pencegahan
maksimal.
Keterbukaan maksimal adalah  suatu kerangka keterbukaan yang secara sempurna
dan tanpa biaya memberikan informasi kepada nasabah penyimpan tentang perubahan
kinerja bank dan kegiatan penuh risiko yang dilakukan pengurus bank. Sedangkan
pencegahan maksimal  adalah suatu situasi dimana nasabah dengan segera mengerti
implikasi dari informasi yang mengalir secara sempurna dan mereka mampu melindungi
dirinya sendiri secara lengkap dan tanpa biaya dari segala ancaman terhadap kekayaan
mereka.
Situasi seperti itu tentunya sangat sulit bahkan mustahil untuk tercipta. Untuk
itu diperlukan suatu keseimbangan dimana informasi yang tersedia tidak menyebabkan
biaya yang terlalu tinggi bagi industri perbankan sehingga menghambat pengembangan
usaha mereka.
Dalam melakukan pembaruan terhadap industri perbankan, badan pengawas harus
sangat berhati-hati. Pemberlakuan  ketentuan  dan kebijakan yang di anggap tidak tepat

3.     oleh pasar akan berpengaruh sangat buruk bagi stabilitas perbankan dan keuangan.
Ketua US Federal Reserve, Alan Greenspan mengingatkan bahwa :
"
The new world of financial trading can punish policy misalignments with amazing
alacrity. This is a lesson repeated time and again, taught most recently by the breakdown
of the European Exchange Rate Mechanism in 1992 and the plunge in the value of Mexican
Peso (in 1994). In the process of pursuing their domestic objectives, central banks cannot
be indifferent to the signals coming from international financial markets. Although markets
can be harsh teachers at times, the constrains that impose discipline our policy choices and
remind us every day of our longer run responsibilities
."
Untuk menciptakan perbankan sehat harus dilakukan pendekatan yang terdiri   dari
tiga pilar, yaitu pengawasan,
internal governance
dan disiplin pasar. Pendekatan ini
harus dilakukan karena badan pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan
liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrumen keuangan. Dengan
demikian pengawasan yang dilakukan oleh otoritas harus dilengkapi dengan disiplin
internal bank serta disipli pasar. Melibatkan
internal governance
dalam melakukan
pengawasan karena bank merupakan tempat terbaik untuk mengatur dan memelihara
praktik manajemen bank yang sehat. Pengikutsertaan disiplin pasar mencerminkan fakta
bahwa tanpa pasar yang kompetitif dan
punitive
atas
kegagalan bersaing di pasar, maka
tidak cukup insentif bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan
keputusan keuangan yang tepat.
Untuk itu, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
peraturan perbankan.
Banyak negara sepakat bahwa salah satu pendekatan  yang diperlukan untuk
membangun suatu siste m perbankan yang sehat dan kuat adalah dengan memberikan
jaminan yang eksplisit bagi nasabah penyimpan. Sebelum pembentukan  suatu lembaga
penjamin yang permanen, diperlukan langkah-langkah pembaruan sistem perbankan
sebagai prasyarat agar sistem tersebut dapat berjalan efektif. Alasan dasar (
rationale
)
bagi pemerintah untuk memfasilitasi pendirian lembaga penjamin simpanan adalah
kepercayaan pada industri perbankan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan
pada sistem perbankan yang diawasi secara baik dapat meminimalkan terjadinya
kebangkrutan bank,  dan kebangkrutan tersebut dapat diprediksi dan merupakan
kejadian yang dapat dicegah. Selain itu, kesetaraan sosial juga merupakan
pertimbangan. Perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab
adalah suatu pendekatan yang adil dan tepat. Dengan demikian,  bank dapat beroperasi
secara konsisten dan dipercaya untuk menyediakan kredit dalam jumlah cukup untuk
kesehatan perekonomian, menduku ng sistem moneter yang aman dan efisien sekaligus
mencegah pengurus bank mengambil risiko berlebihan yang pada gilirannya menghindari
kemungkinan
bailout
oleh pemerintah.

   
















Bab 3 Penutup

Kebijakan yang diambil pemerintah bila di telah secara jernih sebenarnya merupakan upaya untuk menekan laju pertumbuhan ekonomi secara sengaja, sadar dan dilakukan secara sistematis.
Kondisi kehadiran Dana Moneter Internasional dalam ikut membenahi ekonomi Indonesia yang di kecam banyak pihak karena di nilai bonafide oleh pelaku ekonomi Internasional sehingga mereka masih mau bertransaksi dengan Indonesia. Bila tidak ada dukungan IMF, Indonesia bisa dikucilkan dalam perdagangan Internasional, artinya ekonomi Indonesia akan kian terpuruk setelah tertimpa krisis moneter.
Kondisi makro ekonomi dunia yang sedang dilanda krisis apabila Indonesia ingin menarik investasi asing lewat proses provitasi BUMN ataupun divestasi bank-bank publik yang dilakukan oleh BPPN, maka Indonesia harus memberikan insentif lebih bagi para calon investor tersebut. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dilakukan secara sadar, sehingga harus dipikirkan dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut dan jangan sampai Indonesia dijauhi oleh investor Internasional.
Disamping itu jika para pengusaha diberikan kesempatan untuk mendapatkan kredit maka dia akan berupaya berproduksi untuk menghasilkan keuntungan guna membayar utang dan membayar pajaknya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah mendorong eksport nasional, terlebih lagi dalam kondisi dunia yang mengalami resesi seperti ini.
Oleh sebab itu diperlukan kebijakan yang berbeda terutama untuk sektor-sektor yang menjadi prioritas sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.